Jakarta
Pro dan kontra
Publik Indonesia meradang dengan pengakuan Zarof Ricar (64). Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung RI itu mengaku, uang sebanyak 952 Miliar dan emas 51 kg (yang ditemukan di rumahnya oleh penyidik Kejagung) diperoleh dari “pengumpulan suap” selama 10 tahun (2012-2022).
So, Zarof berprofesi sebagai markus (makelar khusus) di MA. Memalukan!
Uang dan emas yang dikoleksi Zarof besar sekali. Itu belum termasuk suap dari kasus pembebasan terdakwa Ronald Tannur dari jeratan hukum di PN Surabaya. Yang terakhir, keburu terendus penegak hukum.
Ronald Tannur adalah terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti, 29 tahun. Pria berusia 32 tahun itu adalah anak politikus asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Edward Tannur. Adapun tiga hakim ED, M, dan HH — yang ditangkap Kejagung— adalah majelis hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur Rabu, 24 Juli 2024.
Agar pembebasan Ronald Tannur lancar jaya, diguyurlah para penegak hukum itu dengan uang. Makelarnya Zarof, mantan pejabat di MA tadi.
Mengherankan? No. Bagi wartawan sepertiku, kasus Zarof biasa saja. Aku sudah tahu lama modus seperti itu. Dan aneh, banyak orang memaklumi. Karena sulit dihilangkan? Entahlah.
Seperti pepatah, satu hilang dua terbilang. Tertangkapnya Zarof, niscaya memunculkan zarof-zarof lain. Kasus Zarof hanya “puncak gunung es” dari kebobrokan dunia peradilan di Indonesia.
Di era rejim Jokowi “spesies” markus itu makin meruyak. Seperti amuba, beranak pinak dengan membelah diri. Dan kalau dilacak, induknya ada di istana. Di istana inilah markus raksasa bersemayam dengan segala kebesarannya.
Di istana ada zarof raksasa. Monster dari segala monster keadilan. Mereka adalah Mulyono and his Gank. Lo, apa buktinya?
Buktinya: KPK dirujak. MK dipalak. KPU dibajak. DPR diinjak. Parpol dikletak. Polri, Kejagung dan MA dipletak. Demi terwujudnya politik dinasti, markus raksasa bisa mengerahkan seluruh kekuatan pengaruh yang dimilki.
Berani melawan, akan di”lembong”kan. Tangkap dulu. Bukti kesalahan bisa dicari. Jika tak ada bukti kesalahan, Kejagung punya dalih. Ada potensi bukti kesalahan! Kata “potensi” kini jadi mantra kejaksaan untuk menangkap “target”. Tom Lembong adalah korban mantra “potensi” dari penegak hukum ala Kejagung tadi.
Dr. TM Luthfi Yazid, Ketum GePa-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonedia) pernah cerita berdebat dengan mantan PM Lee Kuan Yew, tahun 2006 di Singapura. Tentang problema peradilan di dunia.
Saat pidato di forum konferensi advokat seluruh dunia yang diselenggarakan oleh International Bar Association (IBA) tahun 2006 itu, cerita Luthfi, Lee membusungkan dada bahwa dirinya mampu menata dunia peradilan di Negeri Singa. Dampaknya, hukum menjadi panglima. Keadilan ditegakkan tanpa kompromi. Siapa yang berada di Singapura, akan mendapat hak dan kewajibannya dengan adil. Sesusi hukum yang berlaku.
Lee memberi contoh Indonesia sebagai negeri yang bobrok hukumnya. Para pemimpin negara Indonesia, kata Lee, tidak mampu membenahi dunia peradilan. Akibatnya, negeri kaya sumber daya alam tersebut miskin. Nyaris bangkrut. Ujar Lee.
Waktu itu, sebagai WNI — cerita Luthfi — aku “panas” mendengar kritikan Lee. Aku katakan padanya, membandingkan Indonesia dan Singapura, not apple to apple.
Singapura itu luas wilayah dan populasinya hanya setara sebuah kabupaten di Indonesia. Belum lagi persoalan agama, budaya, dan tata cara hidup ratusan etnis yang mendiami nusantara. Aku katakan pada Lee, Indonesia di masa depan, setelah melalui perjuangan panjang, akan menjadi “negeri hukum” yang lebih baik dari Singapura. Aku percaya saat itu, rejim reformasi akan berhasil menata hukum di Indonesia dengan baik. Kata Luthfi.
Kenapa? Indonesia punya Pancasila. Tegas Luthfi. Singapura tidak! Orang Indonesia, tidak melakukan korupsi bukan sekadar takut masuk penjara. Tapi juga takut masuk neraka, seperti tersirat dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lee terdiam mendengar argumentasiku. Ia mengangguk-angguk. Aku merasa “menang”.
Tapi? Apa yang terjadi dalam dunia peradilan Indonesia setelah sekian tahun konferensi advokat internasional itu? Nothing!
Jujur, kenang Luthfi, aku malu kalau mengingat momen tersebut. Ternyata dunia peradilan Singapura terus berbenah dan memperbaiki diri. Kini Singapura termasuk salah satu negara dengan sistem hukum terbaik di dunia. No korupsi. No bribery. No transaksi.
Hukum adalah panglima yang penuh kebesaran dan kehormatan. Hasilnya, negeri miskin sumber daya alam itu kini kaya raya. Investasi dari negeri maju terus mengalir ke Negeri Singa.
Indonesia? Promosi IKN oleh Presiden Jokowi tak digubris para investor dunia. Capek! Bagaimana mungkin presiden yang mengacak-acak demokrasi bisa dipercaya investor? No way!
Kini kasus Zarof membuka mata dunia, Indonesia terbukti gagal mereformasi sistem hukumnya. Dampaknya: hukum tak bisa dipercaya. Investor takut menaruh uangnya di Jakarta. Apalagi setelah indeks persepsi korupsi Indonesia terus memburuk. Bila tahun 2023 indeks tersebut mencapai 3,92, sekarang di 2024, turun di angka 3,85. Makin buruk.
Bagaimana memperbaikinya? Pinjam istilah Dr. Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK, Indonesia harus melakukan “dekonstruksi struktural” di dunia peradilan. Ini artinya, struktur kejaksaan agung dan mahkamah agung harus dirombak total sehingga tidak memungkinkan “oknum” bermain-main dengan hukum.
Mungkinkah? Aku pikir tidak mungkin sebelum Istana dipagari. Maksudku, ada UU Kepresidenan yang melarang tegas presiden cawe-cawe di ranah yang bukan haknya. Sejak tahun 1990-an, kata Luthfi, mahasiswa sudah mendesak DPR agar merumuskan UU Kepresidenan. Sampai hari ini, DPR diam.
Kini, setelah kasus Zarof meledak, mau apa? Ya, kita ambil hikmahnya saja. Semoga kasus Zarof menjadi momentum untuk Presiden Prabowo memperbaiki dunia peradilan Indonesia. Khususnya dalam pemberantasan korupsi.
Ini tantangan besar bagi Presiden Prabowo Subianto yang bertekad memberantas korupsi di Indonesia. Kata Luthfi, anggota tim pengacara Prabowo di Pilpres 2019.
Ya. Aku ingat Prabowo berkata keras, berapi-api. “Saya akan kejar koruptor meski lari ke kutub utara sekali pun.” Good!
Laksanakan Jenderal! Rakyat mendukungmu! (*)
Penulis adalah kolumnis berbagai media massa nasional, anggota PPWI Bekasi